Profil Lengkap Mohamad Sohibul Iman

| August 11, 2015 | 0 Comments

Profil Lengkap Muhammad Sohibul Iman

Sosoknya begitu ramah dan tenang. Tuturnya lembut penuh nilai. Pemikirannya jauh ke depan, penuh bobot. Wawasannya terpancar sangat luas ketika diajak berbincang banyak hal, mengenai ilmu dan kehidupan. Inilah Mohamad Sohibul Iman, Wakil Ketua DPR RI yang baru dilantik menggantikan Anis Matta dari F-PKS yang mengundurkan diri.

Kesibukkannya luar biasa sejak menjadi anggota legislatif, apalagi saat resmi menjadi pimpinan DPR RI. Bicara soal sains dan teknologi, Sohibul Iman adalah orang yang tepat untuk diajak bicara. Tak hanya itu, Sohibul Iman juga pribadi yang sangat religius. Ia sudah menjadi legislator sejak 2009. Sebelumnya, Sohibul Iman adalah peneliti di Bakorsurtanal dan BPPT. Segudang aktivitas telah mewarnai perjalanan hidup mantan Rektor Universitas Paramadina ini.

Pelajar Teladan
Tasikmalaya 1965. Kota ini ikut merasakan ketegangan, imbas dari peristiwa mencekam di Ibu Kota Jakarta yang ketika itu terjadi pembunuhan terhadap para perwira TNI AD dalam peristiwa yang disebut GESTOK atau G30S. Lahir, pada tanggal 5 Oktober 1965 dengan nama Mohamad Sohibul Iman, nama yang indah dan religus. Sang bayi melengkapi karunia ilahi, setelah sebelumnya juga sudah ada 4 kakaknya yang lahir. Kedua orangtua sang bayi hidup di tengah kota Tasik, tepatnya di Lengkongsari. Sang ayah adalah pengusaha konveksi dan dikaruniai 9 anak. Iman adalah yang kelima.

Masa kecil Iman sepenuhnya dihabiskan di kota Tasik. Ia suka sekali bermain dan bercengkrama dengan sahabat-sahabat kecilnya. Bermain gasing, gatrik, badminton, dan sepak bola adalah favoritnya di masa kecil dahulu. Ia begitu riang bermain. Senangnya mengingat masa kecil di kota Tasik. “Dulu yang saya sering mainkan gasing, gatrik, bola. Kenapa bola, karena hampir semua kakak saya pemain bola juga,” cerita Iman, mengenang masa kecil.

Memasuki usia sekolah, Iman kecil kali pertama bersekolah di SD Negeri Jajaway, Tasikmalaya. Setiap pagi ia berangkat sekolah dengan berjalan kaki, karena lokasi sekolahnya tidak jauh dari kediamannya. Rumah keluarga Iman dekat dengan alun-alun kota dan kantor bupati.

Semasa duduk di SD, Iman adalah siswa yang cerdas. Tidak saja menjadi kebanggaan orangtuanya, tapi juga kebanggaan sekolahnya.
Dari sejak duduk di kelas 1 hingga kelas 6 SD, Iman selalu menjadi juara kelas bahkan pelajar teladan di sekolahnya. Saat jam istirahat jadi hal yang menyenangkan bagi Iman dan sahabat-sahabat kecilnya di sekolah. Ia biasa memanfaatkannya untuk bermain. “Bila istirahat, mungkin itu bagian dari fragmen hidup yang sangat indah. Memadukan sekolah dengan main. Enggak bikin stress,” ungkapnya.

Tahun 1979, Iman lulus SD dan melanjutkan sekolahnya ke SMP Negeri 1 Tasikmalaya, dekat alun-alun kota. Setiap hari ia juga harus berjalan kaki menuju sekolah. Lagi-lagi semasa di SMP, Iman tetap menjadi kampiun di sekolahnya dengan menjadi pelajar teladan. Teman-teman sekolahnya sempat menjulukinya kutu buku, karena tak pernah jauh dari buku. Betapa pun dijuluki kutu buku, tapi Iman kecil tetap senang bermain. Semasa SD hingga SMP, Iman kecil aktif beroganisasi di sekolah. Ia aktif di Osis dan pramuka.

Sebagai pelajar teladan, Iman diutus mewakili SMP 1 Tasik untuk mengikuti ajang pelajar teladan di tingkat kabupaten. Di ajang ini ia menduduki peringkat III. Tahun 1982 lulus SMP dan melanjutkan ke SMA Negeri 2 Tasikmalaya. Kali ini, jarak yang agak jauh dari rumah, memaksa Iman harus naik angkutan kota (angkot) ke sekolahnya. Semasa di SMA, Iman kian aktif berorganisasi. Bahkan, ia sudah aktif mengikuti diskusi-diskusi politik bersama para aktivis HMI dan PII. Di masa belia ia sudah bersentuhan dengan tema-tema politik. Inilah yang kelak mendorongnya menjadi politisi. Hampir semua mata pelajaran di sekolah sangat disukainya. Hanya satu pelajaran yang ia tidak sukai bahkan hingga kini. Pelajaran seni. Ia tak bisa menyanyi!

Di bangku SMA inilah, untuk pertama kalinya ia bisa tembus hingga ke tingkat Provinsi Jawa Barat dalam ajang kompetisi pelajar teladan. Iman menempati peringkat II. Aktivitas olahraga dan organisasi kian memenuhi hari-hari Iman di sekolah. Tamat SMA, sebagai salah satu pelajar teladan, ia sempat dijanjikan oleh Gubernur Jawa Barat waktu itu Aang Khunaefi untuk masuk ke ITB tanpa tes dan biaya. Kebetulan Iman, memang, ingin sekali masuk ITB.

Tapi janji itu tak jelas. Iman agak kecewa, karena tak jadi masuk ITB. Sementara sebelumnya sudah ada tawaran dari IPB yang sempat ditampiknya. IPB waktu itu menawarkan program Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK) bagi Iman. Atas desakan orangtua dan guru ngajinya, Iman terpaksa mendaftar ke IPB di Bogor walau tak tertarik. Tapi, sang guru ngaji memberi nasihat. Katanya, apa yang kita sukai, belum tentu disukai di mata Allah. Nasihat itu membekas di hati Iman. Walau sebetulnya ia lebih suka ke ITB, tapi akhirnya ia ikhlas kuliah di IPB.

Menuntut Ilmu ke Jepang
Memulai kuliah di IPB lumayan menguras waktu dan pikiran. Apalagi bagi para mahasiswa PMDK beban studinya sangat berat. Iman muda harus menyelesaikan mata kuliah kimia dan matematika dalam sebulan. Buku kuliahnya sangat tebal. Siang dan malam tak pernah jauh dari buku kuliahnya yang tebal itu. Memasuki masa ujian, Iman sibuk belajar di kamar kost.

Sebagai mahasiswa berprestasi, ia mulai dituntun takdirnya menuju kesuksesan. Ketika itu Iman muda sudah duduk di tingkat 2. Berawal dari informasi teman kuliahnya bahwa ada program beasiswa ke Jepang. Pemerintah ingin mencetak banyak sumber daya manusia IPTEK. Semua lembaga pemerintah di bidang IPTEK membuka kesempatan belajar ke luar negeri. Nah, saat itu yang paling dekat dekat IPB adalah Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL) yang membuka program beasiswa. Iman dan temannya itu pun mendaftar.

Setelah mengikuti tes, Iman dinyatakan lulus. Ironisnya, teman yang memberi informasi beasiswa malah tidak lulus. Adik perempuan dari temannya itu yang baru lulus SMA juga dinyatakan lulus. Para mahasiswa yang dinyatakan lulus diberi komitmen menjadi PNS di lingkungan BAKOSURTANAL. Tiga bulan pertama setalah resmi mendapat beasiswa, Iman dan adik temannya itu belajar bahasa Jepang. Bahasa Jepang, katanya sulit. “Mugkin saya termasuk yang tidak berbakat dalam bidang bahasa,” aku mantan dosen Universitas Pelita Harapan itu.

Tahun pertama di Jepang, ia masih harus mendalami bahasa Jepang. Selama di Jepang, Iman menempuh studi S1 di WASEDA University pada bidang teknik komunikasi dan informasi. Secara khusus ia mempelajari image processing, yaitu pengolahan citra satelit. Gambar yang ditangkap satelit kemudian diolah dengan teknik komputer. Adaptasi belajar dan bersosialisasi memang harus cepat dilakukan. Iman mengaku banyak mendapat hal positif dari masyarakat Jepang, baik tradisi mencari ilmu dan kehidupan sosialnya.

“Masyarakat Jepang itu masyarakat yang teratur dan displin. Sangat berbeda dengan kita yang boleh dikatakan masyarakat yang serba tidak teratur. Karena itu, hidup di sana penuh kepastian. Kerja keras, disiplin, menghargai waktu, bagian dari kehidupan masyarakat Jepang,” komentar mantan dosen Universitas Borobudur itu. Sebagai muslim, Iman tak pernah meninggalkan kewajiban salat. Ia bersama teman-temannya kerap mencari ruang kelas yang kosong untuk salat.
Di KBRI itu sering banyak acara yang mempertemukan para mahasiswa dan warga Indonesia di Jepang. Di KBRI itulah, Iman kerap bertemu dengan Uswindraningsih Titus, mahasiswi yang sama-sama sedang studi di Jepang lewat program beasiswa. Gadis itu adalah adik dari temannya di IPB yang pernah memberi tahu tentang program beasiswa tersebut. Kelak gadis itu menjadi isterinya.

Selama kuliah di Jepang, ia tetap aktif berorganisasi. Tercatat, Iman pernah aktif di Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Tokyo pada rentang waktu 1987-1994. Selesai menamatkan S1 pada 1992, Iman mendapat tawaran bekerja yang cukup menggodanya. Sebuah perusahan elektronik besar di Jepang memintanya bergabung. Proyeksinya, setelah 2 tahun bekerja, ia akan ditempatkan di perusahaan Jepang yang ada di Indonesia.

Tawaran itu ditampiknya. Iman beralasan posisinya sebagai PNS di BAKOSURTANAL punya ikatan dinas. Pihak perusahaan otomotif Jepang berani mengganti semua biaya studi ikatan dinasnya, asal ia mau bergabung bekerja. “Setelah saya timbang-timbang, akhirnya saya menolak itu dan melanjutkan S2. Artinya, ketika di luar negeri peluang dapat pekerjaan yang bagus itu luar biasa,” ungkap Iman.

Iman istiqomah dengan pilihan studinya. Justru pilihan itu kelak membawanya pada puncak prestasi dan jabatan. Ketua Yayasan Inovasi Teknologi ini, melanjutkan studi S2 di TAKUSHOKU University, Tokyo, Jepang. Ia mengambil Graduate School of Electronics and Information Engineering. Selesai menamatkan S2 (1994), Iman pulang ke Tanah Air dan bekerja sebagai peneliti di BAKOSURTANAL pada 1997-1998. Lalu, ia sempat pindah bekerja sebagai peneliti di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) pada 1998-2005.

Menjadi Politisi
Ketika reformasi bergulir pada 1998, partai-partai politik baru bermuculan. Iman sempat bergabung dengan Pertai Keadilan (PK) yang kini menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Saat itu, sempat menjadi Ketua Departemen IPTEK-LH, DPP PK. Karena ada aturan bahwa PNS tidak boleh menjadi pengurus partai, ia keluar dari PK dan meneruskan karirnya sebagai peneliti di BPPT selama rentang 1998-2005. Wawasan dan pengetahuan Iman soal dunia politik, memang, sudah terbentuk sejak belia. Ketika ada tawaran menjadi politisi, ia tak canggung berada di panggung politik nasional.

Aturan birokrasi belum mengizinkannya berkiprah secara penuh di partai politik. Ketika masih menjadi peneliti di BBPT, Iman kembali mendapat beasiswa program S3 ke Jepang. Kali ini, Pembina Yayasan Pendidikan Nurul Fikri tersebut, menuntut ilmu di Japan Advanced Institute of Science and Technology (JAIST) di Ishikawa, Jepang. Di sana Iman mengambil spesialisasi kebijakan industri dan teknologi. “Itu pertemuan antara teknologi dengan ekonomi. Makanya saya harus belajar ekonomi.”

Maret 2004 pulang ke Tanah Air dengan meraih gelar Ph.D. Mantan penyiar Radio NHK, Jepang itu, kembali sebagai peneliti BPPT. Mei 2004, Iman mendapat tawaran untuk ikut mengelola Universitas Paramadina yang didirikan Nurcholis Majid alias Cak Nur. Paramadina membentuk semacam konsorsium untuk menggantikan posisi Cak Nur yang waktu itu sedang sakit keras berkepanjangan. Tawaran pertama ia tolak. Lalu memasuki 2005, tawaran kembali datang dari Paramadina. Kali ini, ia menerimanya dengan baik.

Setelah Cak Nur wafat, beberapa bulan kemudian, Iman dipercaya menjadi rektor. Ia berada di puncak jabatan civitas akademika kampus. Selama menjadi rektor, ia juga masih bekerja sebagai peneliti di BPPT. Namun, kemudian ia keluar dari BPPT sekaligus berhenti sebagai PNS. Iman ingin mendedikasikan ilmu dan waktunya untuk kampus. Dua tahun berkiprah sebagai rektor, godaan dari panggung politik menghampiri lagi. Para koleganya di PKS tahu Iman sudah berhenti sebagai PNS.

Akhirnya, pucuk dicinta ulam pun tiba. Jadilah Iman seorang politisi yang sudah diidamkannya begitu lama. Ia tinggalkan semua pekerjaannya. Dedikasinya kini tercurah di panggung politik. Iman lalu didaulat menjadi Ketua DPP PKS bidang Ekonomi, Keuangan, Industri, dan Teknologi (EKUINTEK). Pada pemilu 2009, Iman resmi menjadi calon anggota legislatif (caleg) untuk daerah pemilihan Jakarta 2, yaitu Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, dan luar negeri.

Pesta demokrasi 5 tahunan usai. Iman tinggal menunggu hasil perhitungan perolehan suaranya dalam kampenye calon anggota legislatif. Ada perasaan tegang ketika menunggu hasil akhir. Ternyata, Iman terpilih menjadi anggota DPR RI untuk periode 2009-2014. “Saya lihat mungkin ini saatnya menyalurkan minat kepada politik. Poitik yang dipersepsi publik tidak baik itu, juga jadi tantangan buat saya. Menurut saya, politik itu baik sepanjang dilaksanakan dengan penuh integritas.”

Menjadi Pimpinan DPR RI
Kesabaran dan keikhlasannya menunggu waktu yang tepat, akhirnya berbuah manis. Pada 2009 Iman resmi dilantik dan diambil sumpahnya sebagai Anggota DPR RI. Mantan konsultan PT. Edward Teknologi ini, sudah menjadi pejabat negara. Dalam kiprah awalnya sebagai legislator, Iman dipercaya menduduki posisi Wakil Ketua Komisi XI yang membidangi keuangan negara dan perbankan. Inilah saatnya ia ikut mengarsiteki pengambilan kebijakan sebagai penyelenggara negara di jantungnya, di gedung parlemen.

Pengalamannya sebagai peneliti di lembaga negara dan akademisi kampus, membekali Iman tampil menjadi seorang legislator yang amanah penuh dedikasi. Ia menguasai banyak masalah di bidang ekonomi, industri, dan teknologi. Ketika menjadi Wakil Ketua Komisi XI tahun 2009, kebetulan ekonomi negara baru saja keluar dari ancaman krisis global dan memunculkan kasus Bank Century. Pemerintah ketika itu membentuk tim keuangan dan membuat Perpu Jaring Pengaman Sektor Keuangan (JPSK).

Selain di berkiprah di Komisi XI, Iman juga pernah berkiprah di Komisi VII dan terakhir di Komisi VI. Mantan konsultan di Amroos Law Consultant itu, pernah pula menjadi Anggota Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN), Anggota Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP), mengarsiteki beberapa produk UU, Anggota Tim Sosialisasi 4 Pilar Kebangsaan MPR RI, dan Anggota Tim Kajian Sistem Ketatanegaraan.

Karir politik Iman terus melejit dan bersinar terang di parlemen. Tanpa didiuga dan merasakan isyarat apa pun, Fraksi PKS menunjuk dirinya sebagai Wakil Ketua DPR RI menggantikan Anis Matta yang mengundurkan diri, karena ingin berkonsentrasi sebagai Presiden PKS, menyusul mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq yang ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus kuota impor daging sapi di Kementerian Pertanian. Ia harus melanjutkan estafet kepemimpinan.

Iman akhirnya resmi dilantik sebagai Wakil Ketua DPR RI Koordinatoriat Bidang Ekonomi dan Keuangan pada 26 Februari lalu. Kesibukannya kian bertambah. Di pundaknya ada amanah yang harus dipikul. Ia menjadi pimpinan DPR RI justru di saat citra DPR sedang terpuruk. “Citra DPR sedang tidak bagus di mata publik. Nah, saya menjadi pimpinan suatu lembaga yang citranya perlu kita perbaiki. Kemarin PKS pun mendapat cobaan. Bagi saya amanah saja untuk berbuat yang terbaik.”

Bahagia Bersama Keluarga
Iman sudah berada di puncak karir politik. Bahkan, sebagai akademisi, ia juga sudah pernah duduk di puncaknya sebagi rektor. Impian berpolitik sudah Tuhan berikan lebih dari yang Iman impikan.  Ia sudah menjadi pejabat negara berkat kiprahnya di panggung politik. Namun, ketika berada di rumah, ia harus berbagi peran. Iman tetaplah seorang ayah dan suami yang bersahaja. Di rumahnya ada permaisuri cantik, Uswindraningsih Titus, yang dinikahinya pada 1992.

Sang isteri adalah adik sahabatnya di IPB dahulu. Seringnya bertemu di KBRI Jepang sebagai mahasiswa program beasiswa, membuat benih-benih cinta itu bersemi indah. Keduanya saling mencintai. Uswindraningsih adalah lulusan Niigata University, Jepang. Kebahagiaannya bertambah, ketika dari hasil pernikahannya itu, dikaruniai mutiara berkilauan berupa tiga putra dan dua putri. Lima buah hatinya itu, amanah yang melengkapi perjalanan hidup seorang Mohamad Sohibul Iman.

Laiknya seorang ayah, tentu ia berharap kelima buah hatinya itu tumbuh menjadi anak-anak yang cerdas secara intelektual dan spiritual. Ia memberi ruang kebebasan bagi buah hatinya itu untuk memilih kesenangannya. Kesibukannya sebagai pejabat negara, memang, sedikit menyita kebersamaannya dengan keluarga tercinta. Tapi, Iman selalu berusaha menjadi ayah dan suami teladan di rumahnya.

sumber : viva.co.id

Tags:

Category: Presiden PKS, Seputar PKS

About the Author ()

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *